Example floating
Example floating
Opini

Riri Fitri Sari, Sang Bundo Aktivis Kelompok Studi Mahasiswa UI

Galih
×

Riri Fitri Sari, Sang Bundo Aktivis Kelompok Studi Mahasiswa UI

Sebarkan artikel ini

Oleh : Indra J Piliang
Anggota Kelompok Studi Mahasiswa Universitas Indonesia Eka Prasetya

Ketika ingin menyampaikan ‘Opini Publik’ terhadap Calon Rektor Universitas Indonesia (UI), saya membolak-balik catatan harian tahun 1992-1993. Tahun kedua saya kuliah di UI. Beberapa kali berdebat dengan dosen di Fakultas Sastra – kini Fakultas Ilmu Budaya – UI, bahkan sampai diusir keluar ruang kelas, membawa saya untuk melanglang-buana ke luar fakultas.

Saya ikut mengambil mata kuliah di Fakultas Psikologi UI, kalau tidak salah menyangkut tumbuh kembang anak. Selain membaca buku karangan Carl Gustav Jung dan Sigmund Freud, tentu koleksi buku saya dipenuhi dengan karya-karya psikologi populer ilmuwan Indonesia. Karya ilmiah Prof Dr Sarlito Wirawan Sarwono termasuk yang saya kunyah. Tahun ketiga dan keempat, saya ikut juga sebagai ‘mahasiswa duduk’ (sitting class) di Fakultas Ekonomi UI, terutama kelas Prof Dr Emil Salim.

Motif utama saya masuk ke Fakultas Psikologi UI sangat pribadi: membedah ke kedalaman diri saya yang gagap dan penyendiri. Saya adalah anak pertama di keluarga yang masuk jenjang universitas. Bahkan, saya adalah alumni dari sekolah saya sejak Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Menengah Atas yang mampu menembus UI dalam Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri. Saya juga berasal dari dusun yang sangat jauh, pedalaman, di Kabupaten Padang Pariaman. Setiap hari menyeberangi sungai. Tak ada listrik dan jembatan gantung. Apalagi, profesi saya ketika masuk UI dan menjadi mahasiswa UI adalah pedagang Sate Padang dengan gerobak dorong dari Jalan Kunir menuju Pancoran Glodok, Jakarta Kota.

Diterima menjadi mahasiswa UI bagi saya bagaikan diterbangkan ke langit.

Pengelanaan saya berlabuh di Pusat Kegiatan Mahasiswa (Pusgiwa) UI yang sangat jarang dikunjungi mahasiswa UI. Semula, saya mendaftar sebagai anggota grup musik Madah Bahana (MB) UI. Satu puisi saya tulis ketika pelatihan di Puncak, Bogor. Tujuan saya waktu itu adalah ikut berangkat ke Perancis. Ada sejumlah teman saya dari Sastra, antara lain (almarhumah) Ema Mulianta Perangin-Angin (Sastra Jerman). Hanya saja, saya mengundurkan diri, karena merasa tidak sanggup mendapatkan uang saku guna kebutuhan perjalanan ke Perancis. Selain rajin berlatih, saya juga mengambil mata kuliah Bahasa Perancis di Sastra. Selain Fransiscus Xaverius (anak Nias), saya bersahabat dengan Dewi dari Sastra Perancis. Tapi seringkali yang berangkat ke Pusgiwa adalah kami bertiga: Ema, Dewi, dan saya. Ada juga junior saya di Jurusan Ilmu Sejarah 1992. Cantik-cantik.

Di Pusgiwa, saya tertarik dengan Kelompok Studi Mahasiswa (KSM) UI Eka Prasetya. Saya masuk menjadi anggota. Nah, di sinilah saya berkenalan dengan Uni Riri Fitri Sari, Ketua Umum KSM UI Eka Prasetya saat itu. Selain Uni Riri Fitri Sari, ada juga Uda Riri Satria dari Fakultas Ilmu Komputer (Fasilkom) UI yang menjadi anggota KSM UI. Baru kemudian, saya berkenalan dengan Senat Mahasiswa (SM) UI. Kebetulan, Ketua Umum KSM UI Eka Prasetya secara ex officio juga Ketua Komisi Penalaran SM UI. Almarhum Syamsul Hadi, seorang kawan diskusi saya, juga anggota Komisi Penalaran SM UI.

Acara-acara diskusi di Komisi Penalaran SMUI ini yang bersinggungan dengan agenda-agenda KSM UI. Chandra M Hamzah saat itu menjadi Ketua Harian SM UI. Nadia Madjid menjadi Sekretaris Umum SM UI. Dari senior di KSM UI saya tahu bahwa Nadia Madjid juga anggota KSM UI.

Singkat cerita, saya mulai masuk dalam kepanitiaan KSM UI. Yang paling fresh saat itu adalah seminar masalah HIV/AIDS. Cilakanya, saya juga masuk menjadi anggota pers mahasiswa UI saat itu: Suara Mahasiswa UI. Almarhum Ihsan Abdussalam menjadi Pemimpin Redaksi, dari Jurusan Bahasa Indonesia Fakultas Sastra UI. Tahu saya menjadi anggota KSM UI, Ihsan menugaskan liputan tentang seminar HIV/AIDS itu. Dengan senang hati, saya membuat laporan.

Namun, apa yang terjadi?

Bukan memuat di halaman Majalah Suara Mahasiswa UI, laporan saya disobek oleh Ihsan. Rupanya, terlalu berbau 5W & 1H, alias hard news. Tidak mungkin muncul dalam majalah. Tindakan Ihsan itulah yang membuat saya menulis sebuah cerita pendek dengan judul ‘AIDS’. Almarhum Ismail Marahimin, dosen Penulisan Populer di Sastra UI, memberikan titik tiga alias terbaik bagi cerpen itu. Yang namanya cerpen, tentu fiksi.

Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) UI yang paling sering mengadakan riset, seminar atau pelatihan bagi mahasiswa UI dan publik adalah KSM UI. Tentu diluar pelatihan dan diskusi internal. Salah satu metode mendapatkan dana organisasi adalah menggelar pelatihan Public Relation (PR) yang sangat diminati. Dalam kesempatan itulah, saya ‘naik pangkat’ bukan lagi sebagai seksi acara, tetapi menjadi notulis. Pangkat tertinggi diluar notulis adalah moderator. Ketika Uni Riri atau Mbak Nadia menjadi moderator, saya duduk sebagai notulis. Peserta pelatihan PR itu mayoritas adalah mahasiswi atau profesional tercantik zaman itu. Pembicara yang dihadirkan tentu saja selebritas, terutama penyiar televisi.

Dana pelatihan PR terdistribusi pada kegiatan Penelitian Besar yang sekaligus menjadi ajang Pengabdian pada Masyarakat KSM UI. Ketika Ikhsan Dongoran menjadi Ketua Umum KSM UI, saya kebetulan diberi amanah sebagai Ketua Bidang Pengabdian pada Masyarakat KSM UI. Dua penelitian besar saya ikut, yakni kehidupan transmigrasi di Rawa Pitu, Lampung Utara, dan budidaya salak pondoh dengan dukungan perbankan di kaki Gunung Merapi, Klaten, Jawa Tengah. Saya tidak ikut penelitian besar tentang garam di Madura. Namun yang saya ingat, putri dari Sutiyoso (Bang Yos) yang waktu itu menjadi Pangdam V Jaya, ikut ke Madura.

Uni Riri seingat saya ikut Penelitian Besar tentang petani kopi di Lampung. Uni Riri lahir di Bukittinggi, dekat dengan kampung ayah saya di Nagari Air Angar, Tanah Datar. Saya lahir di Pariaman. Sebagai mahasiswa perantauan, kami tahu betul betapa jalan-jalan di Sumatera Barat – saat itu – termasuk paling bagus dan mulus di Indonesia. Tentu saja, ketika masuk ke pedalaman Lampung atau daerah lain, kondisi jalanan berbatu dan berlumpur adalah pemandangan umum di daerah penelitian kami. Belum lagi rumah-rumah penduduk. Belum lagi tempat pemandian umum yang terbuka. Yang kasihan, para mahasiswi yang ikut. Mandi setelah hari gelap menjadi pilihan. Dan kami, para lelaki, kudu berjaga dalam jarak yang juga gelap, beberapa dengan menggunakan kain sarung mirip penampok masa lalu. Sarung ala ninja di kepala.

Dari sana saya berinteraksi dengan Uni Riri. Sebagai seorang pemimpin, Uni Riri punya perhatian kepada seluruh anggota KSM UI. Uni Riri memiliki jiwa disiplin dan ketegasan sebagaimana mahasiswa Fakultas Teknik UI yang mayoritas berisi kaum laki-laki. Sebuah sedan Corolla DX Abu-Abu Tua menjadi ciri kehadiran Uni Riri di Pusgiwa UI. Bahkan, ketika pertama kali KSM UI mengundang Bang Faisal Basri almarhum sebagai pembicara diskusi lesehan, Uni Riri yang menjemput ke Fakultas Ekonomi (FE) UI. Hingga sekarang, Uni Riri lebih suka menyetir sendiri. Mas Eep Saifullah Fatah dan Uda Chandra M Hamzah termasuk yang hadir dalam diskusi dengan metode duduk melingkar itu sebagai pembicara.

Yang saya ikut bangga sebagai mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah adalah kehadiran senior saya Didik Pradjoko yang jadi Wakil Ketua era Uni Riri. Satu lagi, Bendahara KSM UI juga senior saya, Mbak Linda Sunarti. Keduanya menjadi ikon di Departemen Ilmu Sejarah FIB UI, selain Bondan Kanumuyoso, kawan seangkatan saya yang kini menjadi Dekan FIB UI. Diluar Mas Didik dan Mbak Linda, ada mentor saya juga di UI dan terutama di luar UI – terutama di tubuh Partai Golkar –, Kholid Novianto. Yang lebih ‘sepuh’ adalah Mas Ahmad Yani yang pernah menjadi Ketua Umum KSM UI sebelum Uni Riri. Bagaimanapun, KSM UI Eka Prasetya lahir dari ide Prof Dr Nugroho Notosusanto, Guru Besar Ilmu Sejarah UI, ketika masih menjadi Rektor UI.

Selain Uni Riri dan Mbak Nadia, terdapat dua orang perempuan lagi yang menjadi ‘Anak Perawan di Sarang Penyamun’ yang menghuni Pusgiwa UI. Mbak Reni Budi Lestari, senior saya di Sastra Indonesia, adalah salah satunya. Seringkali, saya nebeng naik mobilnya. Mbak Reni adalah sekondan Mbak Nadia. Mbak Reni merupakan Bendahara Umum SM UI. Nah, satu lagi, Mbak Tyas, sosok yang sebetulnya menjadi mentor gejolak aktivisme saya di lapangan. Seseorang yang mengajak berpikir radikal, plus konsisten dengan pilihan itu. Dari Mbak Tyas, saya belajar sikap kritis yang berisi, argumentatif, bahkan sering dianggap sinis. Sebetulnya, ada satu lagi, yakni Mbak Anggie, Pemimpin Umum Majalah Suara Mahasiswa UI. Tetapi, posisi saya yang ‘anak bawang’ di Suara Mahasiswa UI, tak membuat saya dekat. Buku harian saya lebih banyak diisi dengan kutipan verbatim dari Mbak Tyas, di antara lima orang ‘Dewi Kunti’ penghuni awal dari Pusgiwa UI yang bak kuburan itu.

Barangkali, tulisan ini tak terlalu penting bagi publik. Hanya saja, saya merasa, dari deretan riwayat hidup yang menyertai pencalonan Uni Riri, justru bagian ini yang hilang. Seperti buku yang utuh, justru bagian terpenting yang sobek. Bagian yang justru bagi saya sangat bergairah, hulu dari seluruh riwayat akademis dan profesional yang ditempuh Uni Riri. Sisi creative minority dari sedikit mahasiswa UI yang memberikan waktu, tenaga, pikiran, hingga biaya, ketika mayoritas mahasiswa UI lain sudah pulang dari kampus usai jam kuliah. Jika kini, Uni Riri adalah seorang Saraswati, Dewi Ilmu Pengetahuan dalam kepercayaan ajaran Hindu, maka 22 tahun lalu Uni Riri adalah seorang Srikandi yang bersenjata busur dan panah yang membidik isi kepala dan talenta mahasiswa-mahasiswa baru dari berbagai fakultas dan jurusan untuk hidup dalam komunitas epistemologis berbentuk kelompok studi.

Karena itu pula, sejak di kampus hingga sekarang, komunikasi saya dengan Uni Riri tak pernah putus. Begitu juga dengan Mbak Nadia, Mbak Reni, dan Mbak Tyas. Terkadang, bertemu dan bercerita, tentu dengan judul yang sudah berubah: Menggosip Yuk! Dan, setiap kali mendapatkan chat atau telepon dari salah satu di antara mereka, saya langsung bersiap: siap salah dan disalahkan! Sebab mereka tahu, saya pantang tunduk kepada kaum laki-laki. Jika mau marah kepada saya, marahlah lewat mulut mereka. Tentu saya siap membuka baju saya, menghadapkan dada saya dengan sepenuh pikiran, guna dibidik panah-panah api dari busur kasih sayang yang dibidikkan tepat ke jantung saya.

Kehadiran Uni Riri sebagai Rektor UI, bukan saja menembus jantung, hati, dan pikiran Civitas Akademika UI nanti, tetapi ikut menyalakan menara api ilmu pengetahuan sebagai pelita dalam kegelapan berpikir seluruh elemen bangsa. Uni Riri tak hanya tangguh di bidang akademis, hingga dipilih menjadi Mahasiswa Berprestasi Tingkat Nasional tahun 1993, tetapi juga saya kenang dan kenali sebagai sosok yang memberikan sentuhan personal (personal touch) kepada junior dalam organisasi dan mahasiswanya. Sosok Putri Nirmala dengan tongkat ajaib dalam lembaran komik, setiap kali majalah Bobo datang ke kanak-kanak dan anak-anak yang berlangganan, generasi kami.

Tak apa, jika ‘Opini Publik’ yang saya tulis ini membuka ‘rahasia’ kehidupan saya sebagai aktivis mahasiswa di UI. Sebab saya yakin, mereka akan memberikan ‘ilmu rahasia’ lain guna menghadapinya. Terutama Uni Riri, bakal ada senjata lain yang bisa jadi ia belum ungkap, tentang mentalitas tangguh dalam mengarungi jalan penuh beling dan duri di dunia pedagogi — yang masih hitam — bangsa Indonesia. Manjada Wajada!

Jakarta, 14 September 2024.

error: Content is protected !!